Bismillahirrahmaanirrahiim
“Jika
saya adalah sebuah benih, maka saya telah merasakan Assyifa sebagai media yang
baik untuk tumbuh melangit dengan iman yang mengakar. Sebab bibit yang baik
butuh media yang baik untuk tubuh”. Sebuah kalimat indah dengan makna
yang dalam. Itulah kalimat yang aku baca dari seorang sahabat yang sudah
kuanggap seperti kakakku sendiri, Aghniya Humaira yang kini di bumi yang sama
namun bagian yang berbeda masih tetap semangat mengamalkan ilmunya. Ya.. sampai detik ini aku merasakan hal yang
sama. SMA yang baru berdiri itu telah mendidik kami dengan baik, mengajari kami
arti kebersamaan, kejujuran, keihklasan dan ketangguhan.
Kini,
tiga tahun sejak aku lulus dari tempat yang penuh dengan kenangan itu. Benar,
benar sekali apa yang kau katakan, “Nanti Ni, setelah kita lulus dari Assyifa,
kita keluar, kuliah dimana pun, disitulah iman kita yang sebenarnya diuji”
(26-11-11). Ada kabar gembira yang ingin kusampaikan padamu bahwa di sini Allah
masih berkenan menjagaku dengan memberiku tempat yang indah, teman dan
lingkungan yang menjagaku, InsyaAllah.
Di
Rumah Cinta Para Penghafal Qur’an, tak mudah untuk dapat bertahan di sini.
Benar ternyata semakin tinggi puncak gunung yang akan kita daki maka semakin
besar kesakitan yang kita rasa. Memang begitu fitrahnya bukan? Godaan yang luar
biasa besarnya ketika kita ingin menjadi baik. Tempat dimana aku harus banyak
beradaptasi, belajar berinteraksi dengan 41 orang yang tentu saja berbeda
kepribadian, begitu pula pola pengasuhan. Sulit? Tentu saja. Bukan hanya itu,
akupun perlu mengimbangi tuntutan kuliah dengan tumpukan tugas, kuis dan ujian, amanah kampus dan
tuntutan dari tempat ini ‘hafalan’. Dalam satu hari yang sudah banyak menguras
energi, sebelum jam 9 malam aku harus sudah berada di rumah ini dengan jarak
yang lumayan jauh dari kampus, siap meluangkan 2 jam untuk mengikuti kegiatan
di sini : tilawah jamai dan setoran hafalan. Lelah? Tentu saja.
Tahun pertama aku di sini, sudah ada niatan
bahwa aku akan mencukupkan perjuanganku di rumah ini. Selama hampir 2 bulan aku
mempertimbangkan keputusan ini dengan baik. Memohon agar Allah menuntunku dalam
memilih. Hingga tiba waktunya aku harus memutuskan antara bertahan atau
tergantikan. Sebuah kalimat seorang dokter yang masih kuingat sampai saat ini “Banyak
waktu kamu gunakan untuk belajar sampai kamu lupa untuk memberikan hak tubuhmu
untuk beristirahat. Bagaimana dengan Allah? Apakah kamu juga melakukan hal yang
sama untukNya? Berapa banyak waktu yang sudah kau berikan untuk Allah”.
Kalimat ini cukup menggetarkan hatiku, membuatku tak ada daya untuk menyanggah
lagi. Hanya dua jam setiap hari, masih ingin kamu kurangi juga? Hanya bangun
sedikit lebih cepat setiap harinya,
masih ingin kau kurangi juga? Mana waktu untuk Allah? Ibadah kamu yang mana
yang sudah sempurna? Ibadah kamu yang mana yang sudah khusyuk? Mana
persembahanmu untuk Allah?
Teringat pula akan kebaikan kedua
orang tuaku di sana. Tak mampu aku membalas sedikit saja dari kebaikannya.
Kupikir, jika tak bisa ku balas di dunia, di akhirat insyaAllah akan ada
saatnya. Hanya di sini, di tempat ini insyaAllah akan aku berikan hadiah untuk
mereka. Sebuah mahkota dari cahaya, pakaian surge yang indah. Aku sebagai
jaminan untuk orang tuaku agar Allah mempersilahkan mereka masuk surge lewat
pintu manapun yang mereka sukai. InsyaAllah.
Sejak saat itu, aku putuskan untuk
tetap berada di tempat ini. InsyaAllah, bersama dengan orang – orang yang
memilik visi yang sama, saling mendukung, saling mengingatkan dan saling
menguatkan. Semoga kita bisa menjadi Ahlullah J
Aaamiiiiin
Kota Hujan, December 16th
2014 00.17
TOTALITAS TANPA BATAS
SEMANGAT PERUBAHAN MEMBANGUN PERADABAN
No comments:
Post a Comment